Matarammetro- Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB melaksanakan program Jumpai Masyarakat untuk Menyerap Permaslahan Masyarakat (Jum’at Salam) ke 2 tahun 2024 di Desa Jurang Jaler Kecamatan Praya Tengah Lombok Tengah mensosialisasikan Pemenuhan Hak Anak dan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), Jum’at 26 Januari 2024.
Untuk diketahui Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) merupakan muara dari sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, serta dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak.
Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan adanya collaborative governance melalui keterlibatan pemerintah, swasta dan civil society untuk bersama-sama mengupayakan pemenuhan hak anak yang disosialisasikan dalam Jum’at Salam DP3AP2KB NTB di Desa Jurang Jaler.
Tema tersebut selaras dengan tugas DP3AP2KB sebagai pembantu pemerintah provinsi NTB dalam melaksanakan Urusan Pemerintah Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana yang menjadi kewenangan Daerah.
Acara tersebut dibuka dengan sambutan Kepala Desa jurang Jaler Mansur, S.Pd.I., dengan meperkenalkan Desa Jurang Jaler sebagai desa Legendaris di Lombok Tengah yang pemerintahan pertamanya dimulai pada tahun 1946 dan hingga 2024 telah melahirkan sejumlah desa pemekaran lainnya.
Dalam kesempatan tersebut Kepala Desa Jurang Jaler mengungkapkan harapan bantuan program dan dukungan tambahan anggarana untuk pembangunan Desa Jurang Jaler khususnya sarana dan prasarana olahraga yang masih minim.
Kehadiran DP3AP2KB Provinsi NTB dan jajarannya di aula Kantor Desa Jurang Jaler disambut hangat oleh Perangkat Desa Jurang Jaler dan peserta dengan sejumlah dialog yang berisi pertanyaan dan ususlan sebagai bahan evaluasi dan perencanaan program kedepan.

Dalam Jum’at Salam Tersebut, DP3AP2KB melalui Kepala Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi NTB, Eny Chaerany,SH menjelaskan sejumlah aturan pemerintah yang tentang pernikahan.
“Pemerintah sudah mengatur Batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, batas usia ini adalah cara pemerintah menjaga kita semua dari maraknya kasus pernikahan dini,” ungkap Ibu Eny.
Eny juga menyampaikan bahwa, pernikahan anak dibawah umur sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan, maka ada sanksi yang akan dikenakan bagi orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan pernikahan anak.
“Orang yang telibat pada pernikahan anak, bisa dipenjara paling lama sembilan tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta,” ungkapnya.
Lebih jauh Eny juga mengungkapkan sejumlah efek negatif yang ditimbulkan akibat pernikahan dini, diantaranya, tidak bisa mendapatkan dokumen kependudukan, pelayanan kesehatan untuk anak, karena tidak tercatat dalam administrasi, hingga tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak.
Dari sisi kesehatan menurut Eny, anak yang belum siap mengandung, mengakibatkan penyakit reproduksi, kehamilan tidak normal sebagai pemicu terjadinya kematian ibu melahirkan. Sedangkan anak yang dilahirkan rentan terjadi Stunting, bahkan pernikahan dini tercatat sebagai penyumbang terbesar angka Stunting.
“Seorang ayah yang masih terlalu muda belum memiliki kesiapan mental untuk mencari nafkah, hal ini sering berdampak pada rumah tangga, pertengkaran yang berujung perceraian sehingga yang akan menjadi korban adalah perempuan dan anak,”terang Eny.
Dalam kesempatan tersebut Eny menghimbau kepada masyarakat, untuk ikut ambil bagian dalam peran pencegahan perkawinan anak usia dini di lingkungan masing-masing, demi kebaikan bersama, guna menghindari kejadian yang tidak diinginkan.
“Pernikahan anak ini banyak ruginya, oleh karena itu, mari kita sama-sama melakukan pencegahan, laporkan jika ada kejadian,” ungkapnya.(red)